
Bontang – Ketimpangan penerimaan dari Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) antara proyek industri dan rumah tinggal menjadi perhatian serius Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bontang. Sektor industri mendominasi pendapatan, sementara pengajuan dari masyarakat umum masih sangat rendah.
Penata Perizinan Ahli Muda DPMPTSP, Idrus, menjelaskan, salah satu penyebab utama minimnya partisipasi warga adalah tingginya biaya jasa arsitek bersertifikat Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang menjadi syarat wajib.
“Biaya gambar arsitek minimal Rp10 juta untuk rumah sederhana, sementara di Bontang hanya ada tiga arsitek bersertifikat. Ini membuat warga keberatan,” jelasnya, Kamis (23/10/2025).
Padahal, lanjut Idrus, jika pengurusan PBG bisa dijangkau masyarakat, potensi pendapatan daerah akan meningkat signifikan. Namun hingga kini, kontribusi dari rumah tinggal masih jauh di bawah sektor industri.
Target PBG tahun 2025 dipatok sebesar Rp600 juta, dan diperkirakan akan tercapai berkat dukungan proyek industri seperti pembangunan pabrik soda ash di kawasan KNE.
Meski demikian, DPMPTSP tak ingin hanya bergantung pada sektor besar. Pihaknya mulai mengkaji opsi solusi, seperti menghadirkan pelatihan sertifikasi arsitek lokal dan mendorong adanya jasa desain terjangkau bagi masyarakat.
“Kami ingin seimbang. Industri tetap jadi penggerak utama, tapi warga juga harus bisa mengurus izin bangunan dengan mudah,” ujarnya.
Hal ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan warga terhadap perizinan bangunan sekaligus memperluas basis pendapatan daerah dari sektor non-industri. (MH)



Leave a Reply