
Bontang – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bontang menegaskan bahwa pelaksanaan Sekolah Terbuka maupun program pendidikan paket belum dapat dilakukan secara langsung di wilayah pesisir. Pasalnya, pelaksanaan program ini membutuhkan syarat tertentu, salah satunya jumlah peserta didik yang memadai.
Plt Kepala Disdikbud Bontang, Saparudin menyampaikan bahwa penerapan sekolah terbuka, baik jenjang SMP maupun SMA, harus memiliki minimal satu rombongan belajar (rombel), yaitu sekitar 20 siswa dalam satu lokasi. Kondisi di pesisir saat ini belum memenuhi syarat tersebut.
“Kalau mau buka Sekolah Terbuka, harus ada minimal satu kelas dengan 20 siswa yang berada di satu titik. Sedangkan wilayah pesisir kita ini terpencar dan jumlah siswanya tidak sampai segitu,” jelasnya, Senin (26/5/2025).
Ia menyebut, jumlah siswa kelas enam dari sekolah negeri yang berada di pesisir hanya sekitar 10 orang. Bahkan di beberapa tempat seperti Selangan hanya ada satu siswa, Tihi-Tihi tiga siswa, dan di Gusung tujuh siswa. Angka ini tidak cukup untuk membuka kelas Sekolah Terbuka.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa program sekolah paket yang selama ini dikenal juga tidak serta-merta bisa dibuka di wilayah terpencil. Pasalnya, program ini dijalankan oleh lembaga seperti Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), yang juga mempertimbangkan efisiensi operasional.
“Kalau cuma ada satu atau dua peserta didik, tentu pihak lembaga akan pikir-pikir. Biaya operasional tetap harus dikeluarkan meskipun siswanya sedikit. Jadi tidak bisa serta merta, Mbak,” terangnya.
Selain itu, pola belajar di sekolah paket kini juga lebih menuntut keterlibatan langsung, dengan kegiatan tatap muka rutin setiap minggu. Ini berbeda dari konsep lama yang lebih fleksibel dalam waktu dan kehadiran.
Terkait alternatif pengajaran oleh mahasiswa atau lulusan baru, Saparudin menegaskan hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai sekolah formal. Pasalnya, lembaga pendidikan resmi adalah yang berhak mengeluarkan ijazah setara SMP atau SMA.
“Kalau hanya sekadar mengajar tanpa naungan lembaga resmi, itu hanya bisa disebut bimbel, bukan program pendidikan formal yang diakui,” imbuhnya.
Oleh karena itu, pihaknya kini sedang melakukan kajian dan pendataan ulang di wilayah pesisir, untuk mengetahui penyebab utama mengapa anak-anak di sana tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
“Kami ingin tahu dulu apa yang jadi kendala. Bisa karena jarak, ekonomi, atau alasan lain. Setelah itu baru bisa ditentukan pendekatan apa yang paling tepat,” pungkasnya. (Adv/Rae)
Leave a Reply