
Bontang – Hari Kartini bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan kebaya dan upacara formalitas, Senin (21/4/2025).
Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasioanal Indonesia (GMNI) Rossa Tri Rahmawati Bahri mengatakan, Hari Kartini adalah momen reflektif yang harus dimaknai secara lebih mendalam sebagai pengingat bahwa perjuangan Kartini perjuangan perempuan untuk bebas, berdaulat, dan berdaya belum selesai.
Menurutnya, Kartini adalah simbol perjuangan emansipasi perempuan dalam masyarakat feodal kolonial. Melalui surat-suratnya, Kartini menggugat ketidakadilan sosial, mengkritik keterkungkungan perempuan, dan membayangkan masa depan yang lebih cerah bagi bangsanya. Kartini bukan hanya pejuang gender, ia adalah pemikir kebangsaan yang progresif, seorang pelopor pembebasan dalam semangat kemanusiaan yang utuh.
Ia memaknai Kartini bukan hanya dari sisi feminisme liberal yang menekankan kesetaraan dalam ruang-ruang elitis, tetapi sebagai bagian dari perjuangan rakyat yang tertindas.
Perempuan Indonesia tidak bisa bebas selama bangsa ini masih dijajah oleh bentuk-bentuk ketidakadilan struktural: kemiskinan, eksploitasi tenaga kerja, ketimpangan akses pendidikan, dan kekerasan berbasis gender yang masih masif terjadi.
Perempuan adalah bagian dari rakyat, dan karenanya, perjuangan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat. Di desa-desa, perempuan tani masih terpinggirkan dari pengambilan keputusan soal lahan dan produksi. Di pabrik-pabrik, buruh perempuan bekerja dalam kondisi upah rendah dan rentan pelecehan.
Bahkan, Di kampus pun, suara perempuan seringkali dibungkam dengan dalih norma dan budaya yang membatasi partisipasi mereka di ruang politik mahasiswa.
Di sinilah Sarinah hadir.
“Saya percaya bahwa perjuangan perempuan harus bersifat membebaskan, kolektif, dan terorganisir. Pembebasan perempuan bukan sekadar masuk ke dalam sistem patriarki, tapi mengubah sistem itu sendiri. Kartini mungkin tidak mengenal istilah marhaenisme, tapi semangatnya untuk memberdayakan yang tertindas, mendobrak belenggu budaya, dan membangun kesadaran selaras dengan nilai-nilai perjuangan Bung Karno. Saya kader sarinah GMNI, memandang bahwa perempuan bukan objek, tapi subjek sejarah. Perempuan bukan pelengkap gerakan, tapi motor perubahan. Perempuan bukan sekadar ibu bangsa dalam tafsir konservatif, melainkan pejuang dalam garis depan perjuangan nasional,” kata Rossa.
Ia menyampaikan, maka dalam memperingati Hari Kartini, bukan hanya mengenang, tapi melanjutkan perjuangan. Membangun kesadaran politik perempuan, mengorganisir massa perempuan marhaen, dan mendorong kebijakan negara yang berpihak pada keadilan sosial.
“Perlu lebih banyak Kartini-Kartini baru yang tidak hanya cerdas, tapi juga sadar kelas dan berani melawan ketimpangan,” (*)
“Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri.” -soekarno
Leave a Reply